RAHMAT TIDAK SELALU TERLIHAT LEMBUT
Oleh : Sayyid Husein Ali Assegaf*
Masih banyak diantara saudara kita muslimin yang menyuarakan ” Rahmatan lil alamin ” atau ” toleransi ” dengan faham yang salah , demi membenarkan pikirannya atau membela langkah organisasi yang ia ikuti
Mereka mengira Rahmat atau Toleran itu hanya ada ketika seseorang bersikap lembut ( secara kasat mata ) , tidak mudah melarang apalagi menghardik mereka yang melawan perintah Allah swt , sehingga mereka menghujat ulama’ yang berani tegas dalam nahi munkar
Tahukah mereka , bahwa dalam hati ulama’ tersimpan perhatian dan kekhawatiran yang penuh pada ummat ? Sehingga terkadang Ulama’ meninggikan suaranya dalam berbicara ?
Ibarat seorang ayah yang melihat anaknya menggunakan narkoba , pasti ia langsung marah , meninggikan suaranya bahkan terkadang sampai memukul , apa yang membuat ayah itu berubah terlihat kasar??
Tidak lain karena kasih sayangnya terhadap anak , ia tak menginginkan anaknya rusak karena narkoba , begitulah pandangan Ulama’ ketika melihat aqidah dan pemikiran muslimin mulai dirusak , melihat tempat maksiat terbuka lebar , mereka marah bukan untuk dirinya , tak lain karena takut jika ummat dimasukkan oleh Allah swt kedalam neraka karena kerusakan tersebut
Maka dari itu , jika kita lihat dalam Syari’at Islam pun mengatur hal yang terlihat kasar ( secara dzohir ) namun dibalik itu ada rahmat yang begitu dalam
semisal perintah memukul anak yang berusia 10 tahun jika meninggalkan shalat , tak lain karena rahmat pada anak tersebut sehingga ia terbiasa mengerjakan shalat dan menjauh dari murka Allah swt
Begitu juga hukuman bagi pencuri, peminum miras , orang yang berzina tak lain karena dua hal , pertama agar ia jera dan tidak mengulangi sehingga bertambah dosanya dan berhak masuk neraka , kedua agar menjadi pelajaran untuk masyarakat sekitar sehingga menjauh dari perbuatan tersebut
Jadi perlu dipahami, Rahmat bukan hanya terkandung pada amar ma’ruf , tapi rahmat juga selalu terkandug dalam nahi munkar ( apapaun metodenya tergantung objek dari hal munkar tersebut ) hanya saja manusia sering membantah ketika perbuatan maksiat yang ia lakukan dihentikan karena merasa dirinya benar.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.
*Penulis adalah Alumni PonPes Dar Ihsan Tuban , Sunniyah Salafiyah dan Mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Al-Ahgaff Yaman
Recent Comments